Kamis, 26 Maret 2020

Poging dan Deelmening


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Poging dan Deelmening. Sholawat serta salam kita haturkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di hari akhir nanti, dan juga tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam mata kuliah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Poging dan Deelmening. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya saran dan masukan demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa mendatang. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat banyak salah kata.

                                                            Lhokseumawe, 03 Maret 2020
Penulis


       (Ayahwa Kopi)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................           i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................           1
1.1    Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2    Rumusan Masalah................................................................................... 1
1.3    Tujuan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1  Pengertian Percobaan (Poging)...............................................................  3
2.2  Syarat-syarat Percobaan (Poging)...........................................................  5
2.2.1 Niat / Kehendak / Voornemen........................................................ 6
2.2.2 Permulaan Pelaksanaan..................................................................  7
2.2.3 Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan
         karena kehendak pelaku.................................................................  8
2.3  Pengertian Penyertaan (Deelmening)......................................................  7
2.3.1 Dasar Hukum.................................................................................  9
2.4  Macam-Macam Bentuk  Penyertaan.......................................................  8
2.5  Syarat-syarat Penyertaan......................................................................... 10
BAB III PENUTUP......................................................................................            13
3.1  Kesimpulan.............................................................................................. 14




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada umumnya kata percobaan atau poging, berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.
Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya. Dan suatu perbuatan dapat dikatakan poging apabila memenuhi syarat-syarat, yaitu: adanya niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya perbutan bukan karena kehendak si pelaku.
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.
Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas:
a.    Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta dihargaisendiri-sendiri.
b.    Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.


1.1  Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas timbul masalah-masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Percobaan (Poging) ?
2.      Apa unsur-unsur Percobaan (Poging) ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Penyertaan (Deelneming) ?
4.      Apa macam-macam bentuk Penyertaan (Deelneming)  ?
5.      Apa Syarat-syarat penyertan (Deelmening) ?

1.2  Tujuan Masalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Percobaan (Poging)
2.      Untuk mengetahui apa unsur-unsur Percobaan (Poging)
3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Penyertaan (Deelneming)
4.      Untuk mengetahui apa macam-macam bentuk Penyertaan (Deelneming)
5.      Untuk mengetahui Syarat-syarat Penyertan (Deelmening)




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Percobaan (Poging)
Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna. Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan (poging)  diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
-        ada perbuatan permulaan,
-        perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai, dan
-        tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri.
Adapun bunyi pasal 53 KUHP tersebut ialah:
1)             Mencoba melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2)             Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi sepertiga.
3)             Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4)             Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.

Sehingga untuk mengetahui arti dari perobaan dapat kita peroleh dari M.V.T (Memori Van Toelichting) mengenai pembentukan pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut adalah sebua kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
‘’percobaan melakukan kejahatan adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan kejahatan tertentu yang telah diwujudkan didalam suatu permulaan pelaksanaan’’.

2.2 Syarat-syarat Percobaan (Poging)
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.

2.2.1 Niat / Kehendak / Voornemen
Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti :
‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan).

2.2.2 Permulaan Pelaksanaan
1. Permulaan Pelaksanaan
Menurut Loebby Loqman, adalah suatuhal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan. Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).

2. Teori Subjektif
Jadi dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan perwujudan dari niat pelaku.Apabila suatuperbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.

3. Teori Objektif
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan.. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum. Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum.


4. Teori Gabungan
Teori ini adalah gabungan dari teori subjektif dan teori objektif. Lange Meyer yang
merupakan salah satu penganut teori ini menyatakan bahwa,patut dipidananya suatu perbuatan adalah dengan terprnuhinya syarat yaitu sikap batin yang berbahaya dan sikap perbuatan yang berbahaya. Namun, karena pelaksanaan dariteori Lange Meyer ini menemui kesukaran pada keyataannya,maka tidak mengherankkan apabila pandangan ini cenderung pada teori objektif semata-mata. Pandangan Moeljatno tentang Permulaan Pelaksanaan Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

2.2.3  Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.

2.3 Pengertian Penyertaan (Deelmening)
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Demikian juga pembunuhan yang merupakan suatu tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang yang termaktub dalam KUHP pasal 338-340, begitu juga dengan delik penyertaan.
Adapun kata penyertaan yang bersinonim dengan Deelneming aan strafbare feiten tercantum dalam titel V buku KUHP. Sedangkan arti kata penyertaaan menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana, jadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh banyak orang yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi bersamaan dilakukannya perbuatan itu.
Menurut Adami Chazawi pengertian penyertaan  (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.

2.3.1  Dasar Hukum
Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal 55:
(1). Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana:
ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
ke-2. orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.

Pasal 56:
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:
ke-1. orang yang dengan sengaja membantu wwaktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2. orang yang dengan sengaja memberi kasempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Pasal 57;
(1)   Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan dikurangi sepertiganya, bagi pembantu.
(2)   Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau dengan pidana seumur hidup, maka dijatuhkanlah pidana penjara yang selama-lamanya lima belas tahun.
(3)   Pada menentukan pidana hanya diperhatikan perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dibantu oleh pembantu itu, serta dengan akibat perbuatan itu.[6]
Pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk menentukan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan sanksi pidana terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut, pelaku termasuk kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi pidana yang akan dikenakan  kepada pelaku tindak pidana.

2.4  Macam-Macam Bentuk  Penyertaan
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)
Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud.[7] Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut pasal 55, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat tindak pidana.



2.  Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen, Medelijke Dader)
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang.

3.    Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen, Mede Dader)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah ”setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana”. Keterangan ini belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam KUHP sendiri tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari turut serta melakukan (mede plegen).
Turut serta pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan adanya unsur kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan pembuat pelaksana. Pandangan ini condang pada pandangan yang bersifat subjektif.

4. Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker)
Orang yang membujuk melakukan perbuatan merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan suatu tindak pidana. Orang ini menempati posisi yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Karena dia memiliki peran akan dilaksanakan atau tidaknya suatu tindak pidana selain orang yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan tindak pidana.
Yang dimaksud dengan yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk adalah setiap perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Orang yang sengaja membujuk melakukan tindak pidana disebut juga auctor intellectualis, seperti pada orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan tindak pidana secara meteriel tetapi melalui orang lain.
Menurut pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang yang dengan pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan ancaman dan tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan dengan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.
Menurut Martiman memberikan penafsiran mengenai ikhtiar yang dimaksud dalam pasal 55 KUHP tersebut sebagai berikut ini:
a.         Pemberian-pemberian; bentuk dari pemberian ini tidak hanya berupa uang tetapi dapat juga berupa barang bahkan mungkin berupa jasa.
b.        Janji-janji; adanya bentuk janji-janji menandakan bahwa adanya kesengajaan dari penganjur.
c.         Menyalahgunakan kekuasaan; artinya menggunakan kekuasaan secara salah.
d.        Menyalahgunakan kedudukan terhormat; adanya bentuk seperti ini hanya di Indonesia dan tidak terdapat di KUHP Belanda.
e.         Kekerasan; yang dimaksud dengan kekerasan adalah apabila orang mempergunakan kekerasan terhadap orang lain agar orang itu melakukan kejahatan.
f.         Ancaman.
g.        Muslihat; hal ini merupan tipu daya, akal licik atau dengan kata-kata.
h.        Memberi kesempatan.
Dari semua hal tersebut diatas merupakan daya upaya yang dilakukan seorang penganjur untuk memnganjurkan atau membujuk seseorang untuk melakukan tindak pidana yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dengan pidana. Seseorang dapat dikatakan seorang penganjur atau pembujuk harus memenuhi beberapa syarat yang akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Menurut pasal 56 bentuk penyertaan yang terakhir adalah bentuk membantu melakukan tindak pidana atau pembantuan (Medeplichtinghed). Bentuk ini merupakan bentuk terakhir daari delik penyertaan dan sering dilakukan oleh seseorang dalam melakukan tindak pidana. Sesuai dengan rumusan pasal 56 dapat dibedakan macam-macam bentuk pembantuan dalam melakukan perbuatan:
1.        Bentuk pertama adalah pembantuan yang dilakukan pada waktu melakukan perbuatan, yaitu dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Hal ini hampir sama dengan turut serta melakukan perbuatan (medeplegen). Dalam bentuk turut serta melakukan perbuatan adanya kerja sama yang erat antara mereka yang melakukan perbuatan, sedangkan dalam bentuk pembantuan mempunyai sifat kerja sama yang kadarnya kurang dari kadar turut serta melakukan. Orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak beitu penting.
2.        Bentuk yang kedua adalah pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan itu dilakukan dan ini terdiri dari pemberian kesempatan, sarana keterangan untuk melakukan kejahatan.
Selain kedua bentuk tersebut diatas, terdapat juga beberapa bentuk pembantuan yaitu; pembentuan aktif dan pembantuan pasif. Pembantuan aktif adalah bentuk pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif, perbantuan aktif dapat juga disebut pembantuan materiil (materiele medeplitighed). Pada  bentuk pembantuan materiil dapat terjadi hanya pada pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan. Adapun bentuk pembantuan pasif adalah bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif atau secara langsung.

2.5  Syarat-syarat Penyertaan
Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Unsur obyektif: unsur yang menitik beratkan pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.       Perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana.
b.      Akibat perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan dan ada yang timbul setelah perbuatan.
c.       Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.
d.      Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum jika bertentangan dengan undang-undang.

2.    Unsur subjektif: kesalahan (schuld) dari orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum. Dari sudut subyektif, ada dua syaratnya, yaitu:
a.       Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana.
b.      Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya sengan peserta lain, dan bahkan dengan napa yang diperbuat oleh peserta lain.
Selain kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan tindak pidana mempunyai isyarat-syarat sebagai berikut:
1.    Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen). Pada kenyataannya menentukan seseorang pelaku tidak sukar, kriterianya cukup jelas, ialah secara umum perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sedangkan dalam tindak pidana meteriel perbuatan apa yang dilakuakan telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2.    Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), untuk dapat dikatakan sebagai menyuruh melakuakan perbuatan, haruslah memenuhi persyaratan, yakni: orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
3.    Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen). Untuk dapat dikatakan sebagai medepeger seseorang harus mempunyai beberapa syarat-syarat:
a.    Apabila beberapa pelaku peserta melakukan sesuatau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dengan kekuatan diri sendiri.
b.    Antara beberapa pelaku yang melakukan bersama-sama dalam suatu perbuatan yang dilarang itu harus ada kesadaran bahwa mereka bekerja sama. Kesadaran itu dapat timbul karena pada umumnya apabila pelaku peserta itu, sebelumnya melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu telah melakukan perundingan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna. Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan (poging)  diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.
Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi bersamaan dilakukannya perbuatan itu.
Menurut Adami Chazawi pengertian penyertaan  (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.



DAFTAR PUSTAKA

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. 1990. Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Chazawi, Adami. 2002.  Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Moeljatno. 1983. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. Jakarta: Bina Aksara
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7. Bandung: Refika
Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet. Ke- 1. Jakarta: Pradnya Paramita
Sugandhi, R. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional
Susilo, R. 1983. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus. Bogor: Politeia
Prasetyo, Teguh. 2005. Himpuna Keputusan Materiil. Yokyakarta: Kurnia kalam.
Saleh, Roeslan. 1968. Perbuatan PIdana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana). Jakarta: Centra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar