KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.wr.wb
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Poging dan Deelmening. Sholawat serta salam kita haturkan kepada
tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang kita
nantikan syafaatnya di hari akhir nanti, dan juga tak lupa kami sampaikan
terima kasih kepada Dosen Pembimbing
yang telah membimbing kami dalam mata kuliah ini.
Kami sangat berharap makalah
ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Poging dan Deelmening. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami berharap adanya saran dan masukan demi perbaikan makalah yang akan
kami buat di masa mendatang. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat banyak salah kata.
Lhokseumawe,
03 Maret 2020
Penulis
(Ayahwa Kopi)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 1
1.3 Tujuan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1 Pengertian
Percobaan (Poging)............................................................... 3
2.2 Syarat-syarat
Percobaan (Poging)........................................................... 5
2.2.1 Niat / Kehendak /
Voornemen........................................................ 6
2.2.2
Permulaan Pelaksanaan.................................................................. 7
2.2.3
Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan
karena kehendak pelaku................................................................. 8
2.3 Pengertian
Penyertaan (Deelmening)...................................................... 7
2.3.1
Dasar
Hukum................................................................................. 9
2.4 Macam-Macam
Bentuk Penyertaan....................................................... 8
2.5 Syarat-syarat
Penyertaan......................................................................... 10
BAB III PENUTUP...................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada
umumnya kata percobaan atau poging, berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan
yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan
merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek.
Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana
dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur
belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.
Menurut
kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal,
tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang
sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah
menyerang akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud
mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya. Dan
suatu perbuatan dapat dikatakan poging apabila memenuhi syarat-syarat, yaitu:
adanya niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya perbutan bukan karena
kehendak si pelaku.
Penyertaan
atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana Deelneming
dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan
bersama oeleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan
delik,pelakunya disebut Alleen dader.
Prof.Satochid
Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa
orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya
terdiri atas:
a.
Deelneming
yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta
dihargaisendiri-sendiri.
b.
Deelneming
yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu
digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.
1.1
Rumusan
Masalah
Dari
penjelasan latar belakang di atas timbul masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Percobaan (Poging) ?
2.
Apa
unsur-unsur Percobaan (Poging) ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Penyertaan (Deelneming) ?
4.
Apa macam-macam
bentuk Penyertaan (Deelneming) ?
5.
Apa
Syarat-syarat penyertan (Deelmening) ?
1.2
Tujuan
Masalah
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Percobaan (Poging)
2.
Untuk
mengetahui apa unsur-unsur Percobaan (Poging)
3.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Penyertaan (Deelneming)
4.
Untuk
mengetahui apa macam-macam bentuk Penyertaan (Deelneming)
5.
Untuk
mengetahui Syarat-syarat Penyertan (Deelmening)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Percobaan (Poging)
Percobaan
yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu
kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna. Percobaan adalah suatu
usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau
belum berhasil. Percobaan (poging)
diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak
dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah
batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.
Pada
umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
- ada perbuatan permulaan,
- perbuatan tersebut tidak selesai atau
tujuan tidak tercapai, dan
- tidak selesainya perbuatan tersebut
bukan karena kehendaknya sendiri.
Adapun
bunyi pasal 53 KUHP tersebut ialah:
1)
Mencoba
melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya
dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2)
Maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi
sepertiga.
3)
Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4)
Pidana
tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.
Sehingga untuk
mengetahui arti dari perobaan dapat kita peroleh dari M.V.T (Memori Van
Toelichting) mengenai pembentukan pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut adalah sebua
kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
‘’percobaan
melakukan kejahatan adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk
melakukan kejahatan tertentu yang telah diwujudkan didalam suatu permulaan
pelaksanaan’’.
2.2 Syarat-syarat
Percobaan (Poging)
Pasal
53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi
atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu
percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya
niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya
permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan
tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
2.2.1 Niat /
Kehendak / Voornemen
Jika
mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu undang-undang
disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan
sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja
(opzet) berarti :
‘de (bewuste)
richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang disadari yang
ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) Beberapa sarjana beranggapan
bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan adalah sama dengan semua bentuk
kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan
kesadaran berinsyaf kemungkinan). Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa,
van Hammel, van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. Menurut Memori Penjelasan
KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan
bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan
tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu
yang dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara
mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat
direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi
kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak
lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai keinsyafan
kemungkinan).
2.2.2 Permulaan
Pelaksanaan
1. Permulaan
Pelaksanaan
Menurut Loebby
Loqman, adalah suatuhal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan
niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang
untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan. Syarat
(unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan
percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu
harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
2. Teori
Subjektif
Jadi dikatakan
sebagai permulaan pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan perwujudan
dari niat pelaku.Apabila suatuperbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya,
maka perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.
3. Teori
Objektif
Disebut teori
objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu
perbuatan.. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu
dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum. Ajaran
yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP
lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari
berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan:
tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum.
4. Teori
Gabungan
Teori ini
adalah gabungan dari teori subjektif dan teori objektif. Lange Meyer yang
merupakan salah
satu penganut teori ini menyatakan bahwa,patut dipidananya suatu perbuatan adalah
dengan terprnuhinya syarat yaitu sikap batin yang berbahaya dan sikap perbuatan
yang berbahaya. Namun, karena pelaksanaan dariteori Lange Meyer ini menemui
kesukaran pada keyataannya,maka tidak mengherankkan apabila pandangan ini
cenderung pada teori objektif semata-mata. Pandangan Moeljatno tentang Permulaan
Pelaksanaan Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi tiga syarat.
Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP,
sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. Adapun
syarat-syarat tersebut adalah :
a. Secara
objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju.
Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik
tersebut.
b. Secara
subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang
telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang
tertentu tadi.
c. Bahwa apa
yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
2.2.3 Pelaksanaan itu tidak selesai bukan
semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku
Syarat
ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah
pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak
pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang
semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu
telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan
oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka
rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana
yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri
orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam
hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya
perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela.
Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan
keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak
selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku
yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di
luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya
dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
2.3 Pengertian
Penyertaan (Deelmening)
Tindak
pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang
disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
Demikian juga pembunuhan yang merupakan suatu tindak pidana yang dilarang oleh
undang-undang yang termaktub dalam KUHP pasal 338-340, begitu juga dengan delik
penyertaan.
Adapun
kata penyertaan yang bersinonim dengan Deelneming aan strafbare feiten tercantum
dalam titel V buku KUHP. Sedangkan arti kata penyertaaan menurut Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu
seorang lain melakukan tindak pidana, jadi suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh banyak orang yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang
bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming
tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah
suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari
tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan
dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi
bersamaan dilakukannya perbuatan itu.
Menurut
Adami Chazawi pengertian penyertaan
(deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik
dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana.
2.3.1 Dasar Hukum
Dasar hukum
dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal
56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57. Adapun
bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal 55:
(1). Dipidana
sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana:
ke-1. orang
yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan
perbuatan itu.
ke-2. orang
yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat,
memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau
keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun
tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan
kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat
perbuatan itu.
Pasal 56:
Sebagai
pembantu melakukan kejahatan dipidana:
ke-1. orang
yang dengan sengaja membantu wwaktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2. orang
yang dengan sengaja memberi kasempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu.
Pasal 57;
(1) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas
kejahatan dikurangi sepertiganya, bagi pembantu.
(2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana
mati atau dengan pidana seumur hidup, maka dijatuhkanlah pidana penjara yang
selama-lamanya lima belas tahun.
(3) Pada menentukan pidana hanya diperhatikan
perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dibantu oleh pembantu itu, serta dengan
akibat perbuatan itu.[6]
Pasal-pasal
tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk menentukan
kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan sanksi pidana
terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut, pelaku termasuk
kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi pidana yang akan
dikenakan kepada pelaku tindak pidana.
2.4 Macam-Macam Bentuk Penyertaan
Berdasarkan
pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi
beberapa macam, yaitu:
1. Yang
Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)
Pengertian
yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah
yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu
tidak akan terwujud.[7] Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan
menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang
bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah
orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut
pasal 55, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara
pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama
dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi
perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi
sebagian dari syarat-syarat tindak pidana.
2. Yang Menyuruh Melakukan (Doenplegen,
Medelijke Dader)
Menurut
Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan
ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak
dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Wujud
dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah
menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang
menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana yang
dilarang oleh undang-undang.
3. Yang Turut Serta Melakukan (Medeplegen,
Mede Dader)
Tentang
siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS
Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah ”setiap orang yang
sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana”. Keterangan ini
belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan perbedaan
pandangan. Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam KUHP sendiri
tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari turut serta melakukan
(mede plegen).
Turut
serta pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa
masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan
tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh
Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi
apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan
pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan
yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama
dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi
semua rumusan tindak pidana, sudah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan
tindak pidana asalkan adanya unsur kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan
pembuat pelaksana. Pandangan ini condang pada pandangan yang bersifat
subjektif.
4. Yang
Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker)
Orang
yang membujuk melakukan perbuatan merupakan bagian yang sangat penting dalam
melakukan suatu tindak pidana. Orang ini menempati posisi yang sangat penting
dalam suatu tindak pidana. Karena dia memiliki peran akan dilaksanakan atau
tidaknya suatu tindak pidana selain orang yang melakukan dan orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana.
Yang
dimaksud dengan yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk
adalah setiap perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Orang yang sengaja membujuk
melakukan tindak pidana disebut juga auctor intellectualis, seperti pada orang
yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan tindak pidana secara
meteriel tetapi melalui orang lain.
Menurut
pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang
yang dengan pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan
ancaman dan tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan
dengan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.
Menurut
Martiman memberikan penafsiran mengenai ikhtiar yang dimaksud dalam pasal 55
KUHP tersebut sebagai berikut ini:
a.
Pemberian-pemberian;
bentuk dari pemberian ini tidak hanya berupa uang tetapi dapat juga berupa
barang bahkan mungkin berupa jasa.
b.
Janji-janji;
adanya bentuk janji-janji menandakan bahwa adanya kesengajaan dari penganjur.
c.
Menyalahgunakan
kekuasaan; artinya menggunakan kekuasaan secara salah.
d.
Menyalahgunakan
kedudukan terhormat; adanya bentuk seperti ini hanya di Indonesia dan tidak
terdapat di KUHP Belanda.
e.
Kekerasan;
yang dimaksud dengan kekerasan adalah apabila orang mempergunakan kekerasan
terhadap orang lain agar orang itu melakukan kejahatan.
f.
Ancaman.
g.
Muslihat;
hal ini merupan tipu daya, akal licik atau dengan kata-kata.
h.
Memberi
kesempatan.
Dari
semua hal tersebut diatas merupakan daya upaya yang dilakukan seorang penganjur
untuk memnganjurkan atau membujuk seseorang untuk melakukan tindak pidana yang
dilarang dan diancam oleh undang-undang dengan pidana. Seseorang dapat
dikatakan seorang penganjur atau pembujuk harus memenuhi beberapa syarat yang
akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Menurut pasal
56 bentuk penyertaan yang terakhir adalah bentuk membantu melakukan tindak
pidana atau pembantuan (Medeplichtinghed). Bentuk ini merupakan bentuk terakhir
daari delik penyertaan dan sering dilakukan oleh seseorang dalam melakukan
tindak pidana. Sesuai dengan rumusan pasal 56 dapat dibedakan macam-macam
bentuk pembantuan dalam melakukan perbuatan:
1.
Bentuk
pertama adalah pembantuan yang dilakukan pada waktu melakukan perbuatan, yaitu
dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Hal ini
hampir sama dengan turut serta melakukan perbuatan (medeplegen). Dalam bentuk
turut serta melakukan perbuatan adanya kerja sama yang erat antara mereka yang
melakukan perbuatan, sedangkan dalam bentuk pembantuan mempunyai sifat kerja
sama yang kadarnya kurang dari kadar turut serta melakukan. Orang yang membantu
hanya melakukan peranan yang tidak beitu penting.
2.
Bentuk
yang kedua adalah pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan itu dilakukan dan
ini terdiri dari pemberian kesempatan, sarana keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Selain
kedua bentuk tersebut diatas, terdapat juga beberapa bentuk pembantuan yaitu;
pembentuan aktif dan pembantuan pasif. Pembantuan aktif adalah bentuk
pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif, perbantuan aktif dapat juga
disebut pembantuan materiil (materiele medeplitighed). Pada bentuk pembantuan materiil dapat terjadi
hanya pada pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan. Adapun bentuk pembantuan
pasif adalah bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif atau
secara langsung.
2.5 Syarat-syarat Penyertaan
Suatu tindak
pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Pada umumnya syarat-syarat tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Unsur obyektif: unsur yang menitik beratkan
pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a.
Perbuatan
manusia, yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif yang menyebabkan
pelanggaran pidana.
b.
Akibat
perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan
kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan dan
ada yang timbul setelah perbuatan.
c.
Keadaan-keadaan
sekitar perbuatan, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan
perbuatan.
d.
Sifat
melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum jika
bertentangan dengan undang-undang.
2. Unsur subjektif: kesalahan (schuld) dari
orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat
dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat
dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum. Dari sudut subyektif, ada
dua syaratnya, yaitu:
a.
Adanya
hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan,
artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana.
b.
Adanya
hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya sengan peserta
lain, dan bahkan dengan napa yang diperbuat oleh peserta lain.
Selain
kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat
sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut melakukan tindak
pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan tindak pidana
mempunyai isyarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mereka
yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen). Pada kenyataannya menentukan
seseorang pelaku tidak sukar, kriterianya cukup jelas, ialah secara umum
perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana
formil wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan yang dicantumkan dalam
rumusan tindak pidana, sedangkan dalam tindak pidana meteriel perbuatan apa
yang dilakuakan telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2.
Mereka
yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), untuk dapat dikatakan sebagai
menyuruh melakuakan perbuatan, haruslah memenuhi persyaratan, yakni: orang yang
disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
3.
Mereka
yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen). Untuk dapat dikatakan
sebagai medepeger seseorang harus mempunyai beberapa syarat-syarat:
a.
Apabila
beberapa pelaku peserta melakukan sesuatau perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang dengan kekuatan diri sendiri.
b.
Antara
beberapa pelaku yang melakukan bersama-sama dalam suatu perbuatan yang dilarang
itu harus ada kesadaran bahwa mereka bekerja sama. Kesadaran itu dapat timbul
karena pada umumnya apabila pelaku peserta itu, sebelumnya melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu telah melakukan perundingan atau
kesepakatan untuk melakukan kejahatan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Percobaan
yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu
kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna. Percobaan adalah suatu
usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau
belum berhasil. Percobaan (poging)
diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak
dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan
hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan
kejahatan.
Menurut
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, pengertian kata penyertaan atau Deelneming
tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah
suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari
tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan
dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi
bersamaan dilakukannya perbuatan itu.
Menurut
Adami Chazawi pengertian penyertaan
(deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik
dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Aruan Sakidjo
dan Bambang Poernomo. 1990. Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana
Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Chazawi, Adami.
2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3
Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Moeljatno.
1983. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. Jakarta: Bina Aksara
Prodjodikoro,
Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7. Bandung:
Refika
Prodjohamidjojo,
Martiman. 1997. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cet. Ke- 1.
Jakarta: Pradnya Paramita
Sugandhi, R.
1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional
Susilo, R.
1983. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus.
Bogor: Politeia
Prasetyo,
Teguh. 2005. Himpuna Keputusan Materiil. Yokyakarta: Kurnia kalam.
Saleh, Roeslan.
1968. Perbuatan PIdana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar
Dalam Hukum Pidana). Jakarta: Centra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar