KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.wr.wb
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Konsep Dan Teori Konsumsi Dalam Ekonomi Islam. Sholawat serta salam kita
haturkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad
SAW yang kita nantikan syafaatnya di hari akhir nanti, dan juga tak lupa kami
sampaikan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam mata kuliah ini.
Kami sangat berharap makalah
ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Konsep Dan Teori Konsumsi Dalam Ekonomi Islam. Kami juga menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami berharap adanya saran dan masukan demi perbaikan
makalah yang akan kami buat di masa mendatang. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat banyak salah kata.
Lhokseumawe,
03 Maret 2020
Penulis
(Kelompok 2)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 1
1.3 Tujuan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
2.1 Konsep
Ekonomi Islam......................................................................... 3
2.2 Teori
Konsumsi Dalam Islam............................................................... 5
2.3 Karakteristik
Konsumsi Dalam Ekonomi Islam................................. 7
2.4 Perilaku
Konsumsi Dalam Islam.......................................................... 8
BAB III PENUTUP...................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Allah
telah melimpahkan untuk manusia karunia kenikmatan yang melimpah di bumi. Bersama
itu pula amanah juga dibebankan kepada manusia untuk mengelolanya. Karunia dan amanah atas sumber daya tersebut pada
intinya memunculkan tiga masalah utama dalam kehidupan sosioekonomi masyarakat,
yaitu apa dan berapa banyak barang/jasa yang diperlukan (what),
bagaimana cara menghasilkannya (how) dan bagaimana mendistribusikan
kepada masyarakat secara adil (for whom), sehingga tercipta suatu keadilan
dan kesejahteraan yang luas. Keinginan manusia agar terpenuhi kebutuhannya telah
melahirkan konsep teori konsumsi.
Perilaku
konsumsi manusia biasa bersumber pada dualitas yaitu economic rasionalism
dan utilitarianism yang menekankan keduanya lebih menekankan kepentingan
individu (self interest) dengan mengorbankan kepentingan pihak lain.
Konsep self interest rationality menurut Edgeworth, meskipun secara
ekonomi terkesan baik, tetap mengandung konsekuensi terhadap perilaku konsumsi
yang lebih longgar karena ukuran rasional adalah selama memenuhi self interest
tersebut. Sedangkan utilitarianisme yang menekankan bagaimana manfaat
terbesar dapat diperoleh meski harus mengorbankan kepentingan/hak pihak lain.
Perbedaan
kebutuhan fisiologis dipengaruhi oleh perbedaan faktor psikologis, sehingga
melahirkan berbagai bentuk konkrit kebutuhan hedonistik, materialistik dan wasteful
seperti cita rasa seni, kesombongan atau kemewahan. Pada akhirnya konsumsi tersebut
mengabaikan keharmonisan dan keseimbangan sosial akibat sikap yang individualistik
sebagai konsekuensi kelebihan kekayaan dan untuk mencapai kepuasan maksimum.
Oleh sebab itu, berbagai konsumsi dan kekayaan oligarkis seperti mengendarai lamborghini
(meskipun lalu lintas padat, macet dan banjir), bermain golf di australia
(untuk alasan bisnis dan lobi relasi), berburu lukisan yang sedang naik daun
(sebagai bentuk citarasa seni tinggi), nonton konser karya Chopin sambil
berburu jam Chopard terbaru di Wina (untuk menunjukkan status sosial), bukan
merupakan akhlak konsumen islami. Islam mengatur pola kansumsi umatnya dengan
mengedepankan akhlak, sehingga terjadi keseimbangan konsumsi yang komprehensif
antara individu dengan masyarakat luas dan antara dunia dengan akhirat.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari
penjelasan latar belakang di atas timbul masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan konsep ekonomi islam ?
2.
Apa
yang dimaksud dengan teori konsumsi dalam islam ?
3.
Apa Karakteristik
konsumsi dalam ekonomi Islam ?
4.
Apa
Perilaku Konsumsi dalam Islam ?
1.3
Tujuan
Masalah
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep ekonomi islam.
2.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan teori konsumsi dalam islam.
3.
Untuk
mengetahui apa Karakteristik konsumsi dalam ekonomi Islam.
4.
Untuk
mengetahui apa Perilaku Konsumsi dalam Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Ekonomi Islam
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang sama sekali tidak berbeda dengan ekonomi lainnya,
dengan minus kapitalis dan sosialis, serta penambahan Islam. Pendapat yang
lainnya mengatakan bahwa ekonomi Islam lebih banyak mengadopsi dari sistem ekonomi
yang sudah ada, dengan mengungkapkan kelemahan sistem lain guna menunjukkan
bahwa ekonomi Islam secara substansial adalah yang lebih baik. Meskipun
demikian, semua lontaran kritikan dari para ahli ekonomi tersebut bertujuan
untuk menuntut para pendukung ekonomi Islam agar mampu untuk memberikan jawaban
serius terkait dengan konsep ekonomi Islam.
Para
ahli mencoba mendefinisikan ekonomi Islam atau ekonomi syariah dengan beberapa variasi.
Zainuddin Ali menyatakan bahwa ekonomi syariah merupakan kumpulan norma hukum
yang disandarkan pada Alquran dan hadis untuk mengatur perekonomian di tengah masyarakat.
Menurut Mardani, ekonomi Islam ialah suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang dilakukan
perorang, atau perkelompok, atau badan usaha yang berbentuk hukum maupun non-berbentuk
hokum, dengan tujuan komersial dan tidak komersial serta dilakukan sesuai
dengan tatanan ajaran agama Islam.
Dari
berbagai definisi dari para ahli ekonomi syariah di atas, dapat diketahui bahwa
unsur penting yang menjadi rujukan dalam setiap kegiatan ekonomi Islam adalah
bersumber dari wahyu Ilahi dan hadis. Sumber utama tersebut kemudian
diinterpretasikan melalui ijtihad dan menggunakan cara pengambilan dalil
lainnya,
yang secara
nyata dan tidak nyata langsung berkaitan dengan sumber utamanya yaitu kalamullah
dan Sunah Rasulullah Muhammad saw.
Pada
dasarnya, ilmu ekonomi Islam tidak jauh berbeda dengan ilmu ekonomi yang ada,
karena sama-sama mempelajari perilaku masyarakat dalam kegiatan ekonomi berupa produksi,
distribusi, dan konsumsi serta pemilihan sumberdaya yang bersifat langka, lalu mengalokasikan
sumberdaya tersebut guna memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dalam Islam semua
kegiatan tersebut juga dilandaskan dengan iman kepada Allah, karena setiap kegiatan
perekonomian tersebut merupakan ibadah dan penghambaan manusia kepada Penciptanya.
Ilmu ekonomi Islam tidak hanya memperhatikan aspek komersial yang didapat oleh
manusia, namun juga pembentukan sistem dalam perilaku kehidupan ekonomi yang
sesuai dengan tatanan syariat Islam.
Ada
pula yang menafsirkan bahwa ekonomi Islam adalah sistem yang menyangkut
pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu pemerintahan atau masyarakat dengan
menggunakan metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut sebagai salah
satu unit dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, yang berada dalam
ruang lingkup makro maupun mikro, yang mendoktrin pelarangan riba dan memiliki
karakteristik sistem bagi hasil sebagai jalan keluar dari permasalahan krisis
ekonomi. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan ekonomi Islam sebagai
perekonomian yang ada di dunia Islam atau hanya untuk umat Islam saja.
Sehingga, yang dipelajari ialah bagaimana perekonomian yang terjadi di masamasa
Islam mulai masuk di Arab yaitu pada zaman rasulullah, sahabat, tabiin hingga
pada zaman sekarang, lalu bagaimana implementasi perekonomian Islam di
negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, Irak, Iran, Malaysia,
Indonesia dan sebagainya.
Pemikiran
ekonomi Islam di Indonesia khususnya saat ini, masih sebatas tema perbankan atau
lembaga keuangan saja. Sehingga gagasan bank Islam terlebih dahulu yang
berkembang dalam upaya penerapan prinsip ekonomi Islam. Kurangnya pengembangan konsep
ekonomi Islam ini masih dirasakan dalam hal ekonomi makro dan mikro serta sistem
dalam statistik dan akuntansi Islam, ini karena kurangnya kreatifitas
pengembangan dalam tatanan ilmu sosial tersebut. Pembahasan yang komprehensif
tentang konsep ekonomi Islam sangat perlu, guna menjawab kritikan dari para
ekonom konvensional, terkait dengan eksistensi ekonomi Islam sebagai solusi
dalam memecahkan persoalan yang terjadi pada masalah ekonomi di seluruh belahan
dunia.
2.2 Teori
Konsumsi Dalam Islam
Menurut
Al-Ghazali konsumsi adalah (al-hajah) penggunaan barang atau jasa dalam upaya
pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al-iktisab) yang wajib dituntut (fardu
kifayah) berlandaskan etika (shariah) dalam rangka menuju kemaslahatan
(maslahah) menuju akhirah. Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah
agar tidak hidup bermewah-mewahan, tidak berusaha pada pekerjaan yang dilarang,
membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan
syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam.
Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada
interaksi secara kolektif.Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang
harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan
nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan
kepentingan individual.
Preferensi
ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki
karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas dan prinsip-prinsip
dasar ekonomi Islam, ada tiga aspek adalah sebagai berikut:
1.
Ketauhidan
Tauhid
adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam
semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah Swt, bukan
kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan
signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang
menjadi salah satu penghuni di dalamnya. Prinsip Tauhid menjadi landasan utama
bagi setiap umat muslim dalam menjalankan aktivitasnya termasuk aktivitas
ekonomi. Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas
jagad raya ini adalah Allah Swt. Prinsip tauhid ini pula yang mendasari
pemikiran kehidupan Islam yaitu khilafah (Khalifah) dan ‘Adalah (keadilan).
2.
Khilafah
Khilafah
(Khalifah) bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini
dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan
sumberdaya materi. Ini berarti bahwa, dengan potensi yang dimiliki, manusia
diminta untuk menggunakan sumberdaya yang ada dalam rangka mengaktualisasikan
kepentingan dirinya dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka
mengabdi kepada Sang Pencipta Allah Swt.
3.
Keadilan.
Merupakan
bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al Syariah). Implikasi dari
prinsip ini adalah :
(1)
pemenuhan kebutuhan pokok manusia.
(2) sumber-sumber
pendapatan yang halal.
(3)
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata.
(4)
pertumbuhan dan stabilitas.
Tiga
prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling berkaitan untuk
terciptanya perekonomian yang baik dan stabil karena prinsip ‘Adalah adalah
merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al
Syariah).Konsekuensi dari prinsip khilafah dan ‘adalah menuntut bahwa semua
sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan
tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment),
menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi
pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and
wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Konsumsi
secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Dalam ekonomi Islam konsumsi juga memiliki pengertian yang
sama, tetapi memiliki perbedaan di setiap yang melingkupinya. Perbedaan
mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari
konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah
Islamiyah.
2.3
Karakteristik Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Ada
beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam, diantaranya
adalah:
a.
Konsumsi
bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan
dan keharaman yang telah digariskan oleh syara', sebagaimana firman Allah dalam
Alquran. Al-Mā-idah ayat 87 yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telahAllah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
b.
Konsumen
yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada
berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun rohaninya.
Cara seperti ini dipastikan dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang
memang menuntut keseimbangan kerja dariseluruh potensi yang ada, mengingat,
terdapat sisi lain diluar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.10Karakteristik
ini didasari atas fiman Allah dalam Alquran. Al-Nisā’ayat 5 yang artinya:
“Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik”
Islam
sangat memberikan penekanan tentang cara membelanjakan harta, dalam Islam
sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan hati-hati termasuk menjaga nafsu
supaya tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan. Rasionalnya konsumen akan
memuaskan konsumsinya sesuai dengan kemampuan barang dan jasa yang dikonsumsi
serta kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut. Dengan
demikiankepuasan dan prilaku konsumen dipengaruhi oleh hal-hak sebagai berikut
:
a.
Nilai
guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi. Kemampuan barang dan jasa untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.
b.
Kemampuan
konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa. Daya beli dari income konsumen dan ketersediaan
barang dipasar.
c.
Kecenderungan
konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu, budaya,
selera, serta nilai-nilai yang dianut seperti agama dan adat istiadat.
d.
Menjaga
keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang
batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalamekonomi Islam
(mustawa al-kifayah). Mustawa al-kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang
gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi.
Dibawah mustawa kifayah, seseorang akan masuk pada kebakhilan, kekikiran,
kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah
seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawaisraf,
tabdzir dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam.
2.4 Perilaku
Konsumsi Dalam Islam
Perilaku
konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan
mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia
yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep
pemenuhan kebutuhandisertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya
keharmonisan hubungan antar sesama. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang
pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang
pemuasan materiyang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan
posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Adi
warman Karim tertulis dalam bukunya Ekonomi Mikro Islami menyebutkan bahwa
perilaku rasional mempunyai dua makna, yaitu pertama: metode, “action selected
on the basis of reasoned thought rather than out of habit, prejudice, or
emotion” (tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan
berdasarkan kebiasaan, prasangka atau emosi), dan kedua: makna,”action that
actually succeeds in achieving desired goals.”(tindakan yang benar-benar dapat
mencapai tujuan yang ingin dicapai).
Ekonomi
Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi
juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak,
pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:
a.
Prinsip
Syariah yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
b.
Prinsip
akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk
beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah
yang nantinya diminta pertanggung jawaban oleh Pencipta.
c.
Prinsip
ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang
barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah
merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya.
d.
Prinsip
‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah diketahui tentang
konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah
diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang
haram dan syubhat.
e.
Prinsip
Kuantitas yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam
syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini adalah kesederhanaan,
yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta,
bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga pelit.Menyesuaikan antara pemasukan
dan pengeluaran juga merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam
konsumsi.Artinya, dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.Selain itu, bentuk prinsip
kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan
digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan
kekayaan itu sendiri.
f.
Prinsip
Prioritas yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar
tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
1.
Primer,
adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan
kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti
makanan pokok.
2.
Sekunder,
yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih
baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan.
3.
Tersier,
yaitu konsumsi pelengkap manusia.
g.
Prinsip
Sosial Yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
1.
Kepentingan
umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi
yang mampu juga menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf.
2.
Keteladanan,
yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalam keluarga atau
masyarakat.
3.
Tidak
membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain dalam mengkonsumsi
sehingga tidak menimbulkan kemudharatan seperti mabuk- mabukan, merokok, dan
sebagainya. h. Kaidah Lingkungan yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak
merusak lingkungan. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki dua
sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan
sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.
Salah
satu ciri dalam Islam bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan
masyarakatnya tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk
mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaanya.
Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap orang yang
terlibat dalam pemborosan atau tabzir.
Dalam
hukum (fiqh) Islam, orang semacam itu harusnya dikenai pembatasan - pembatasan
dan, bila dianggap perlu, dilepaskan, dan dibebaskan dari tugas mengurus harta
miliknya sendiri. Dalam pandangan syariah dia seharusnya diperlukan sebagai
orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya
selaku wakilnya.
Etika
islam dalam hal konsumsi yakni :
a.
Prinsip
Keadilan
Berkonsumsi
tidak boleh menimbulkan kedzaliman, harus berada dalam koridor aturan atau
hukum agama serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki
berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak
boleh dikonsumsi.
b.
Prinsip
Kebersihan
Bersih
dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak
fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala
sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat
bukan kemubadziran atau bahkan merusak.
c.
Prinsip
Kesederhanaan
Sikap
berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari
berbagai kerusakan di muka bumi.Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna
melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau
sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam
menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan
manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara
individual maupun sosial. saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya.
d.
Prinsip
Kemurahan Hati
Dengan
mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi
benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya.
Karena Islam adalah agama yang sangat mendukung nilai-nilai sosial, Selama konsumsi
ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan
dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada AllahSwt, maka Allah akan
memberikan anugerah-Nya bagi manusia.
e.
Prinsip
Moralitas
Pada
akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh
moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala
kebutuhan.
Kepuasan
adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang memiliki
cita rasa yang berbeda namun jika yang diinginkan terpenuhi maka akan
menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin tidak membatasi konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsumsi
sebagai wujud kebersinambungan antara sang makhluk (hablu minan nas) dan antara
Tuhan (hablu minallah).
Dalam
perilaku konsumen muslim bila digambarkan secara grafis dengan menggunakan alat
analisis kurva indiferensi terhadap perilaku konsumen muslim perlu dilakukan
suatu modifikasi dimana batasan yang membatasi konsumsi seorang konsumen muslim
bukanlah hanya garis anggaran semata namun juga adanya batasan syariah.
Sehinggga batasan seorang konsumen muslim secara grafis dibatasi oleh garis
anggaran dan syariah (budget and syariah line (BSL) ). Pada garis anggaran dan syariah
ini secara posisi, letaknya berada lebih rendah dibandingkan pada garis
anggaran. Karena adanya batasan dalam syariat Islam, seperti larangan untuk
mengkonsumsi barang yang haram, larangan riba, larangan untuk konsumsi yang
berlebihan dan kewajiban berzakat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang sama sekali tidak berbeda dengan ekonomi lainnya,
dengan minus kapitalis dan sosialis, serta penambahan Islam. Pendapat yang
lainnya mengatakan bahwa ekonomi Islam lebih banyak mengadopsi dari sistem
ekonomi yang sudah ada, dengan mengungkapkan kelemahan sistem lain guna
menunjukkan bahwa ekonomi Islam secara substansial adalah yang lebih baik.
Menurut
Al-Ghazali konsumsi adalah (al-hajah) penggunaan barang atau jasa dalam upaya
pemenuhan kebutuhan melalui bekerja (al-iktisab) yang wajib dituntut (fardu
kifayah) berlandaskan etika (shariah) dalam rangka menuju kemaslahatan
(maslahah) menuju akhirah.
Prinsip
ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewahan,
tidak berusaha pada pekerjaan yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba,
merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan
dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu
pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif.Individu dan
kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan
sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang
mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
DAFTAR PUSTAKA
An Nabhani,
Taqyuddin, (2009), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
penerjemah Moh. Maghfur Wachid, Edisi pertama, Surabaya: Risalah Gusti.
Heri sudarsono,
Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonisia Kampus
Fakultas Ekonomi UII, 2003
Mardani. 2012. Fiqh
Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Mustafa Edwin
Nasution dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta :
Kencana
Nur Chamid, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010),
Syarif Chaudhry
, Muhammad. 2012. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. Jakarta : Kencana
Syed Nawab
Haidar Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Terjemahan M.Saiful Anan
dkk, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar